Senin, Maret 15, 2010

Selanjutnya Adalah Musibah!





Seperti biasa, entah kutukan atau apa, kemanapun kaki melangkah saya selalu saja disertai dengan musibah yang anehnya ada saja yang menarik untuk di ingat dan diceritakan. Hari pertama di jogja ditandai dengan kehilangan kunci motor pada saat motornya masih menyala dan berjalan melintasi kota Jogja! Fantastis!
Kejadiannya seperti ini, hari pertama kami menjejakkan kaki di Jogja pada pukul 4.30 pagi dengan kepala masih puyeng akibat terngiang-ngiang teriakan penjual getuk asli Purwekerto (so what kalo dari Purwekerto Mas!). dari stasiun kami langsung meluncur kekontrakkannya abang mas Danar untuk istirahat sejenak, karena fikiran masih melayang-layang, kami pun pergi mencari warung kopi terdekat untuk menyegarkan otak yang sedikit keruh ini. Segeeeer!!! Sampai pukul 6 pagi pada saat orang-orang perlahan bangun untuk melanjutkan rutinitasya, kami malah pulang untuk melakukan ritual yang tertunda dikereta api tadi, yak tepat sekali sodara-sodara,  tidur!

Terbangun pukul 12 siang dengan keadaan setengah teler akibat kelelahan kami pun ditraktir makan siang kemudian lanjut jalan-jalan menikmati kota Jogja menggunakan 2 sepeda motor milik keluarga mas Danar. Mas Danar yang bertugas sebagai tuan rumah mempunyai tanggung jawab untuk mengantarkan kami kedaerah-daerah yang pantas untuk dikunjungi. Tujuan pertama adalah Malioboro, setelah puas dengan belanja seadanya untuk baju ganti agar terlihat membaur dengan warga sekitar, kamipun pergi melanjutkan perjalanan ke Alun-Alun nan gersang di sekitaran Keraton, karena Keratonnya sedang tutup karena ada kegiatan di sekitarnya maka kami puas untuk melotot di daerah tandus tersebut menonton orang-orang yang lalu-lalang. Kebetulan pasar baju bekas yang hari sebelumnya tampak digelar disana telah siap untuk bongkar muatan untuk pindah ketempat lain.

Perjalanan selanjutnya adalah Taman sari, alias tamannya raja jaman dahulu kala. Disinilah musibah itu datang. Motor yang saya kendarai bareng Adit dari Alun-Alun tampak berjalan mulus sampai ke parkiran Taman sari, permasalahannya adalah, ketika sampai disana saya bingung untuk mematikan mesin motor saya, padahal anak TEKA pun tahu cara mematikan mesin motor, namun saya tetap tidak sukses mematikan motor tersebut karena ternyata kunci motornya HILANG ALIAS RAIB  dari tempat kontaknya! Sangat fantastis menurut saya, karena motor tersebut bisa sukses mencapai sana tanpa menggunakan kunci. Jika pintar, pada saat motor masih menyala saya kembali lagi menyusuri jalan yang saya lalui, jika tidak berhasil saya ketempat tukang kunci untuk membuatkan kunci barunya. Itu jika saya adalah orang yang pintar, Ketololan saya adalah mematikan kunci tersebut dengan kunci motor yang dipakai mas Danar dan kemudian TIDAK BISA KEMBALI LAGI! Setelah kembali 2 kali bolak balik dicari oleh saya dan mas Danar secara bergantian menggunakan motor yang satunya lagi dan hasilnya nihil, alhasil solusinya adalah mendorong motor tersebut sejauh 7 blok untuk mencari tukang kunci! Baguuuuus,, semakin besarlah telapak kaki sayah.. what a shame.

Hari kedua Kucing gendutku datang menjemput. Katanya kangen luar binasa tidak menyurutkan niatnya untuk menjemput pangerannya yang ganteng dan cacat mental ini, hehehe. Setelah melepas rindu lama tak bertemu, Perjalanan dilanjutkan dengan niat hunting foto-foto di kisaran Borobudur. Perlengkapan lengkap, motor stand by, kamera DSLR udah siap 3 biji (punya mas Danar, Adit dan Kucing, saya Cuma numpang keren doang, hehehehe, maklum orang kere), amunisi penuh, badan wangi dan matahari bersinar terik (tidak lupa basahin jambul). Mantap! Perjalanan memakai sepeda motor tidak sampai setengah jam dan hujan pun mengucur dengan derasnya! Ketek! Gagal total.

Malemnya nge-jamu ke House of Raminten dekat kantor Kompas. Setelah banyak tertawa melihat menu yang disajikan dan pakaian  pelayan cewenya kayak jualan badan dan cowonya kayak gigolo kampungan, saya memesan teh Jahe karena badan saya meriang kedinginan ( ada judul jamu “susu perawan nancep” jamu segala macem dari obat kuat sampai obat panu, dan edisi spesial untuk kaum Adam yaitu pijat tradisional dengan ramuan khusus yang dipijet oleh mbak-mbak sexi, noughty, bitchy gitu deeeh). At least, nongkrong di tempat ini buat hari saya gag terlalu buruk lah, tempatnya Cozy banget, tapi sayang tempatnya diimbangi dengan pelayanannya yang amburadul. Kasian mas Danar, udah mesen nasi kucing porsi double gag pake telor, 2 jam gag dateng-dateng juga, padahal makanan kami udah ludes semua (saya mesen pisang pake mises seres SATU BIJI harga 5 ribu, Damn!).

Hari ketiga niat untuk berburu foto di Borobudur pun tercapai, berbekal pengalaman pahit kehujanan hari sebelumnya, Kucing ber-inisiatip untuk menyewa mobil yang bisa bawa kita semua keliling Jogja. Rute Borobudur-Prambanan-Kota Gedhe-Parang Tritis dan kembali ke Malioboro dijadikan target satu hari full kita jabanin, tidak ada kejadian bodoh hari ini kecuali pada bagian akhir Adit hampir di tarik penunggu pantai Paris (parang Tritis) untuk dijadikan qurban karena nekat mau naik karang ditengah arus deras untuk mengambil foto pose bertapa ala Ki Joko Bendot diatasnya. Ga banget!

Hari keempat saya dan kucing dikerjain tukang becak ketika ingin mengambil foto di Keraton. Setelah penawaran alot kami bisa mendapatklan harga 3ribu perak untuk keliling tempat bakpia, dagadu dan keraton. Masalahnya disana kami gag mau belanja bakpia dan gag mau belanja di Dagadu, secara di malioboro jauh lebih murah. Jadi kami minta langsung  diantar ke Keraton dan minta ditungguin pulangnya, eh, malah ditinggal sama tukang becak sialan itu, untung belum dibayar. Ternyata usut punya usut, para tukang becak memaksa dengan rute pergi ke tempat bakpia dan Dagadu itu akan mendapatkan persenan dari penjual jika pelanggannya membeli produk-produk disana. Pantes saya ditinggal, lah saya gag ada beli apa-apa langsung ke Keraton, udah gitu kami didalam ada kali sekitar 2 jam untuk nyari spot foto yang aduhay. Tukang becak mana yang mau nunggu segitu lama dan menderitanya hanya untuk 3ribu perak?

Malemnya adalah malam terakhir di Jogja nyari makan gudeg masih dikisaran Alun-alun di tempat perkampungan jual gudeg dan kemudian dilanjutkan menonton paduan suara dan marching band untuk memperingati malam ulang tahun UII (Universitas Insya Allah Islam) dibundaran Tugu Serangan 11 Maret. Baru selesai acara yang pertama, bahkan EMSI pun baru masuk membawakan acara, cuaca tampaknya kurang bersahabat dan tiba-tiba saja langit runtuh dengan menumpahkan  bergalon-galon air ke kepala kami. Jadilah dalam hitungan detik kami basah kuyup macam kucing diguyur air sebaskom. Kasian si Kucing baru beli sandal bulu udah lepek lagi,, hahahha.
*ampun cing, jangan ketok lagi palanya sayah*
Hari terakhir di Jogja dibuka dengan sarapan dipasar Bringinharjo pada pukul 10 pagi dilanjutkan dengan shopping terakhir di Malioboro dan Mirota batik kemudian harus check out dari home stay pada pukul 12.00!

Seluruh perjalan saya di Jogja bisa dibilang tidak terlalu buruk dan tidak terlau baik juga, mengingat keadaan jiwa saya yang masih shock setelah program dan berbagai macam musibah yang menimpa. Keep fight alligator.


*Catatan kaki setelah dari Jogja*
Dengan berniat sekali menantang panasnya Indonesia, saya menggunakan A1 kebanggaan untuk diperlihatkan kepada orang tua saya atas wujud terima kasih dan pengabdian saya kepada mereka yang akan menjemput saya di Bandara Sepinggan. Penerbangan delay 1 jam karena badai (lagi-lagi hujan mengacaukan liburan saya di Jogja sampai detik-detik akhir) dan setelah tuntas membaca surat Al-Fatihah dan ayat kursi karena pesawat yang berguncang hebat memasiki awan hitam, pesawat kecil ini sukses mengudara dan siap mendarat di Balikpapan satu setengah jam kemudian. Kebahagian mereka tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata ketika melihat saya memasuki ruang pengambilan baggage dan keluar menyambut mereka. Saya dihadiahi ciuman dari Abah, Mama, Nenek Omon, Acil, Paman, Melli Ponakan sayah dan Adik kesayangan sayah, Fadhilla.
Namun kebahagiaan ini tak berlangsung lama, mobil berjalan dari bandara menuju rumah sayah melewati rumah nenek sayah untuk mengantarkan paman dan acil sayah pulang di daerah Samboja, 2 jam kemudian musibah datang (LAGI!). tercium bau menyengat yang membuat saya memandang tajam kearah Fadhilla yang duduk disamping saya. Fikiran saya adalah, ni anak kurang ajar banget, udah gag boker 2 minggu yah!namun setelah lumayan mabuk dengan bau tersebut, kami baru sadar kalo kampas kopling mobil sewaan keluarga sayah hangus terbakar, dan kami pun terpaksa berjalan kaki dan sedikit mendorong ketika melewati bukit kecil karena mobil mengeluarkan bau ban terbakar dan menggerung-gerung tidak kuat berjalan lagi, macam kakek tua yang dipaksa sprint oleh cucunya. Mobil kami stuck ditengah jalan antah berantah dimana semua warung tutup dan rumah orang juga saling berjauhan dan terkunci. Yang jadi masalah adalah, terakhir kami makan itu ketika sarapan pagi harinya di pasar Bringinharjo 11 jam sebelumnya! Dengan kondisi kelaparan dan terlantar sayah menunggu jemputan sekitar 2 jam untuk menderek mobil kami.

Tapi jangan kira musibah yang menimpa sayah” cuma” sampai situ, karena mobil yang menderek kami terlalu kencang jalannya, maka mobil mogok yang dikendalikan oleh Abah saya (saya dan paman saya tinggal dimobil ini mengorbankan nyawa, hehehe) dibelakangnya kalang kabut menstabilkan jalan mobil dengan menginjak pedal rem sepanjang jalan, mungkin karena terlalu panas, besi di velg mobil yang menempel piringan rem disana menjadi terlalu panas dan membuat ban mobil itu pecah!
Alhasil kami sampai dirumah nenek Omon sekitar pukul 2 dini hari dan mencari cara pulang kerumah pagi hari setelah beristirahat, padahal malam ini kami diminta langsung mampir kerumah neneknya si Kucing begitu sampai di Samarinda untuk menghadiri selametan yang besok mau berangkat Umroh. Maaf ya nek!
Dan disinilah saya, terperangkap pada pukul 4 dini hari diruang tamu keluarga paman Udin mengetik serentetan musibah yang menimpa saya selama beberapa hari ini yang membuat sayah Insomnia Tingkat Lanjut. Fak!
Read more

Kehilangan Terbesar Sayah





*menghirup nafas panjang*

Hard disk sayah rusak, itu kabar pertama yang ingin sayah kasih tau. Dan sekedar info, semua foto saya dan segala macam dokumen udah ada disana sejak sebelum program dimulai sampai program hampir selesai hilang tak terbaca. Seperti yang selalu terjadi apabila kita kehilangan barang berharga, kita pasti akan dilanjutkan dengan kehilangan barang berharga berikutnya. I-pod touch sayah ilang dicuri ketika saya lagi ngajar kursus bahasa inggris dirumah keluarga angkat sesaat sebelum program ini berakhir juga.

Saat ini saya baru aja kembali dari mengantar partisipan Kanada kebandara untuk take off kembali kenegaranya, yang berarti program pertukaran pemuda yang saya ikuti selama 6 bulan ini secara official selesai.  Hal ini mengisyaratkan bahwasanya saya juga harus berpisah dengan counterpart saya, Sebastian (diakui apa tidak, dia adalah bahan yang sangat bagus sekali saya cela untuk bahan tulisan saya, hehe, sorry Seb) Ini tentu saja membawa kehilangan lainnya, yang pertama adalah kehilangan keluarga angkat yang sangat luar biasa, bahkan saya gag bisa mengungkapkannya dengan kata-kata betapa mereka membawa dampak yang sangat positif bagi saya selama mengikuti second phase di Indonesia. Makasih banget buat pak Budi, Mamah Ina , Diki, Teh Eva, A Nano, pak Iyep, Mah Ita , Teh Anti dan suami beserta Nazka, dan Adam. Makasih udah menganggap sayah sebagai anak sendiri dan memaklumi ketololan dan keteledoran saya (sampai hampir salah celana dalam dan berkali-kali diteriakin karena dompet dan hape ketinggalan).

Kehilangan selanjutnya adalah komunitas desa Cikandang yang kadang-kadang suka membuat saya geli sendiri melihat tingkah laku warganya. Terus terang desa ini mempunyai nilai unik tersendiri dihati sayah. Pak kades yang berkali-kali kami buat jungkir balik karena ikit-ikutan dibuat repot mengurus program-program kami, pak entis yang saya pinjam sepatu bolanya untuk membawa nama desa dalam pekan olahraga cikandang sampai penuh lumpur ( maaf pak, sepatunya saya lupa cuci!), mang uloh yang multi talenta, beliau adalah hansip desa cikandang, komentator pertandingan (komentator yang paling cepat ngomongnya dan terheboh yang pernah saya temui) serta pelawak sekaligus penangkap ikan waktu kita kemping dipantai Sancang di daerah pantai selatan, A dedy dan A budi yang bercita-cita ingin jadi wasit sepakbola yang sukses, anak-anak SD cikandang 1, 2 dan desa Margamulya yang hebohnya minta ampun kalau partisipan melintas SD mereka. Anak-anak TK mutiara yang lebih hafal lagu ST 12, KANGEN BAND (huek), ARMADA dan kawan-kawan seperguruannya dibanding lagu-lagu daerah. Dan terakhir adalah para Host Families yang sudah membuat perut kita buncit gag keruan karena setiap kita mampir kerumah partisipan gag akan diijinkan keluar pintu apabila tidak makan dulu . (bayangkan jika kita mampir kerumah seluruh partisipan ketika debriefing phase ke-2 yang planningnya adalah mengunjungi seluruh rumah peserta, mampus!)

Kehilangan terbesar tentu saja adalah kehilangan saudara-saudara seperjuangan saya yang dari Sabang sampai Merauke.  Bahkan ketika mengetik ini pun saya masih merasa shock harus berpisah sama mereka. Bahasa lebainya tu yah, kita udah senasib sepenanggungan, susah senang, sedih ketawa bareng, koprol, dihukum push-up, gila-gilaan selama 7 bulan bersama termasuk PDT sampai akhir program dari bangun tidur sampai mau tidur dan bangun lagi yang sayah liat adalah muka mereka. Shock yang menimpa saya sampai saat ini adalah karena kita harus berpisah lebih capat dari yang udah ditentukan.
Begini ceritanya, seharusnya selesai program itu ditentukan ketika peserta dari Kanada pulang kerumah masing-masing, namun dari pihak alumni berniat akan memberikan perpisahan sekaligus pengukuhan menjadi alumni kepada peserta program dari Indonesia seperti tradisi sebelumnya. Namun sayang, karena kesalahan bodoh yang dilakukan antara pihak Alumni dan pihak Menpora maka acara itu batal, dan rencana perpisahan terpaksa juga dipercepat. Maka dampak yang paling terasa pada saat itu tertuju kepada peserta Indonesia yang langsung kena serangan shock tingkat tinggi karena harus mengucapkan perpisahan saat itu juga. Maka pecahlah semua air mata karena kita harus meninggalkan hotel dan seluruh peserta pada detik itu juga, soalnya Menpora hanya membatasi menginap sampai pukul 11 siang dan kita mengetahui kabar itu pada pukul setengah sebelas siang setelah mengantar pulang peserta dari Kanada. Maka untuk membuatnya “sedikit berkesan” kami memutuskan untuk tinggal dijakarta satu hari lagi agar malamnya bisa makan malam bersama untuk terakhir kalinya. Maka dikumpulkanlah orang-orang yang masih bisa stay di Jakarta sebelum pulang ke daerahnya masing-masing di asrama mahasiswa Sulawesi Selatan disekitaran jalan Pegangsaan didepan tugu proklamasi. Setelah terkumpul semuanya, yaitu saya sendiri, Mas Danar, Mambri, Aal, Dian, Suci, Galih, Grace, El, Naje, Risna, Putri, dan yang terakhir Adit minus Hendri yang tampaknya sibuk sekali sejak menjejakkan kaki di Jakarta kita semua menuju Hotel Garuda yang ada disekitaran pasar Senen, Galih yang orang tuanya tajir mampus itu mengirimkan om nya untuk membukakan 5 kamar sekaligus untuk kita menginap!!
Makan nasi goreng disampaing jalan, sambil bercanda, minta request lagu sama pengamen, tertawa, menangis dan jalan-jalan dikota jakarta malam itu tidak mengurangi rasa kebersamaan  kami. Dan puncaknya adalah Project Supervisor dari Indonesia yaitu Ka Acho dan Ka Ainis datang mengunjungi kami dengan membawa Durian yang gag bisa saya hitung sangking banyaknya, dan berpestalah kami malam itu, mabuk Durian!!! Wakakakakakkaka. Kemudian terbersitlah ide untuk pengakuan dosa semua pelanggaran yang pernah kami lakukan selama program ini. Banyak kejadian mengejutkan dan kebohongan yang bau busuknya berhasil ditutup-tutupi oleh kami, dan yang menjadi MAN OF THE MATCH malam itu adalah Galih,, ni anak emang 100% penjahat dah nakalnya. Pantas dia minta terakhir yang ngomong karena ternyata cerita kejahatan dia membuat anak-anak dan Project Supervisor hanya bisa melongo dan menyumpah. Hahahahahhaha.

Jadi begitulah jadinya sekarang, everything come and go like fly, there’s nothing left just memories. Dan sebagai pengobat rasa sakit hati dan kesedihan saya, sekarang saya kabur ke Jogjakarta jadi gelandangan bersama Adit dan mas Danar. Entah apa yang akan saya lakukan lakukan disana masih tanda tanya besar, karena saya tidak tahu menahu Jogja, dengan bermodal moncong besarnya mas Danar (yang emang terlahir bermoncong besar) yang katanya punya abang didaerah uptown Jogja. Lumayanlah, dengan kenekatan tingkat tinggi karena uang dikantong yang semakin lama semakin menipis, sayahpun sekarang sudah ada dikereta ekspres kelas eksekutip duduk manis disamping pak masisnis yang berkumis tipis. Hehehehe.
Satu hal yang membuat cacat perjalanan ini adalah para jualan Getuk dan kawan kawan yang berteriak disamping pintu kompertemen karena tidak bisa masuk kedalam kabin kerena ini adalah kelas eksekutip. Mungkin karena hal itulah merka berteriak dengan semangat 45 untuk membangunkan para penumpang pada pukul 3 pagi. Jancok!! Tidur lelap saya terganggu oleh teriakan “Getuk .. Getuuuk!!,, Kopiii.. kopii..!! Nopiaaaaaah!!” canggihnya mereka berteriak dalam birama 4/4 antara suara satu sampai tiga, hehehehhe. Adit yang terbangun kaget karena suara teriakan mereka bertanya kepada salah satu penjual getuk.
“pak, ini udah sampai daerah mana ya?.”
Dan penjualnya pun menjawab
“Getuuuk goreeeng asli Purwekertooo!”
Terjawablah sudah.
Seperti kata guru ngaji di kampung sayah, kehilangan adalah teguran Tuhan, agar kita lebih selalu mengingat-Nya.



*catatan kaki sedikit kejadian beberapa jam sebelum pergi ke Jogja.*
sayah dan Danar bingung dan terlihat goblok sekali  berduaan dikamar hotel (karena jam 1 siang harus check out sedangkan tiket kereta apinya jam 8 malem) setelah perpisahan dengan anak-anak yang lain pagi harinya. Danar kemudian mengambil inisiatip untuk menelpon mba Firlana, salah satu alumni program di Jakarta yang sukses bekerja disalah satu NGO yang lumayan besar di gedung Intiland Tower Jl. Jend Sudirman, dengan niat minta pertolongan. Gayung pun bersambut, kami disuruh beliau untuk datang kekantornya dilantai sembilan dan kemudian diajak makan siang direstoran Cina yang sangat fancy sekali. Halah! Jiwa anak kos saya pun keluar, tidak mau rugi, saya dan mas Danar memesan makanan se enak jidat aja, walawpun bahasanya saya gag ngerti, saya pesen makanan yang namanya paling panjang di menu . (karena biasanya kalo makanan enak namanya tuh panjang dengan bahasa yang ngejelimet, dan biasanya tebakan saya selalu benar, hehehheha). At least, today is not too bad, met and greet with her little bit decrease my sadness about the farewell.. apa coba..
Read more

Mitos Kaki Gajah






Apa salah satu hal paling menarik selama gaul sama bule selama 6 bulan? Jika muncul pertanyaan seperti itu maka jawabannya adalah kemana-mana sukanya jalan kaki. Diakui apa tadik kita sebagai orang Indonesah emang sukanya kemana-mana tuh simpel. Kalo ada motor nganggur, kalo mau kewarung depan yang jaraknya hanya 100meter tuh asiknya emang pake motor, alasannya simple, takut kena panas supaya kulitnya putihan (hei!! Sampeyan tinggal dinegara yang mataharinya tuh nyengat dari terbit sampai terbenam!) alasan lain ya ituh tadi,, males jalan atau yang paling lebai,, takut kakinya kayak gajah,, halah!. Beda dengan bule-bule ituh, mereka akan memanfaatkan kesempatan jalan kaki kemanapaun dan dimanapun, lah wong jarak antara RW 1 samapi RW 13 di desa Cikandang noh 5km, lah mereka enjoy aja jalan kaki buat ngunjungi satu sama lain . dan parahnya juga mereka pernah pulang jam 10 malem dan tentu saja , jalan kaki! (kalo ini sih keknya karena gag ada kendaraan yang ngangkut jam segitu, hehehe)

Alasan diplomatisnya adalah jalan kaki baik untuk kesehatan dan baik untuk environtment (ngerti ga loh?). Diluar negeri sana, waktu saya melancong ke Kanada, memang perbandingan bentuk trotoarnya yang jauh  lebih besar (dan penggunanya jauh lebih banyak!). coba bandingkan dengan trotoar kita di Indonesah. Pertama, fungsi trotoar yang seharusnya sebagai tempat pejalan kaki malah digunakan sebagai tempat jualan pedagang kaki lima.Kedua, trotoar dijadikan “jalur alternatip” pengguna kendaraan bermotor untuk memotong jalur ketika macet dan banjir, tak heran banyak trotoar yang kita lihat hanya berbentuk gumpalan batu yang berserakan karena dihantam bobot kendaraan bermotor. Masalah banjir inipun menjadi masalah lain. Tapi kali ini kita gag ngbahas banjir dulu,, bisa panjang urusannya.

Mungkin emang karena kebudayaan kita yang sukanya santai relax dan maunya enjoy serta gag mau repot, makanya gag bisa disalahkan juga kalo orang Indonesah tuh jalannya lambaaat banget dibandingkan dengan bule-bule. Kalo udah urusan hiking, atau menuju tempat tertentu  yang lumayan jauh dan kemudian harus ditempuh dengan jalan kaki, tak heran kalau “hampir semua” Indonesian pasti tertinggal jauh dibelakang. Dan ketika sampai pada tempat kejadian perkara (hehe) kita pasti pada tepar kecapean, atau minimal keram kaki lah. Budaya  jalan kaki ini disinyalir karena perbedaan suhu, tempratur dan musim yang sangat berbeda antara negara-negara yang masuk dalam bagian 200 LU dan 200 LS dan diluarnya. Semakin mendekati kutub, semakin kencanglah jalan mereka, karena mereka harus berjalan ekstra cepat untuk menghangatkan badan didalam terpaan dinginnya musim  winter dan sebaliknya, semakin ketengah semakin lambat dan semakin malas orang-orangnya karena sengatan matahari yang kelewat overdosis yang membuat pejalan kaki menghemat tenaga mereka untuk mencegah keringat berlebih dan dehidrasi.

Karena kasus “jalan-kaki-kayak-keong” inilah yang sempat menimbulkan ketegangan urat emosi antara Indonesah dan Canada ketika kita manjat gunung api aktif Papandayan (pada ngiri kaaan,, hehehehe). Udah tu bule kakinya pada jangkung dan langkah nan panjang-panjang ditambah jalan yang cepat pulak, hah! Saya yang hitungannya emang hobby hiking dan manjat gunung aja masih diurutan tengah-tengah, padahal speed udah yang paling poll, kasian cewe-cewe bangsanya naje, el(yang punya penyakit asma) dan kawan-kawan yang emang ga kuat jalan jauh. Mana semua partisipan Kanada tuh hobbynya jalan, kecuali satu orang yang tak lain dan tak bukan adalah  si Treketek-Marketek alias Sebastian bau Ketek, counterpart sayah! Bahkan Marie Piarre yang punya penyakit asma akut hobbynya jalan dan hiking dan segala macam extreme sport (dia udah pernah bungee jumping dan sky diving di Afrika,, ngiri ah!). ya sudahlah, selama perjalan pendakian ke puncak Papandayan satu-satunya Canadian yang tertinggal digrup belakang adalah Counterpart sayah yang nyempil diantara segerombolan Indonesian yang kepayahan mengejar kaki-panjang Canadian..!! ahhh...

Pernah kejadian waktu bulan-bulan awal di Kanada, waktu itu sayah terpaksa mengungsi dirumah keluarga Van De Wiel( liat cerita smiling boxer) karena ditinggal Dave kerumah pacarnya. Malam pertama kita ngumpul dirumah El buat nonton DVD bareng samapi tepar. Akhirnya karena bosan sayah main gitar aja bareng anak Indonesah buat ngusir kebosenan karena gag ada aktifitas lain yang bisa buat saya ngantuk malam itu. Setelah tangan sayah kapalan karena kelamaan main gitar dan gag ada yang ngegantiin setelah beberapa set lagu (sampai sayah nyanyi lagu-lagu gag jelas macam kangen band pun di jabanin,, cuih!) saya pun mencari kegiatan lain. Canadian yang ada saat itu  seperti Steph, Jhon dan Anna merasakan hal serupa juga rupanya, dan mereka berniat untuk melaksanakan “ritual” Canadian ketika merasa bosan yang mereka sebut “Canadian Walk”, saya pun tertarik untuk bergabung karena toh saya pengen ngerasain semua hal yang berbau Canada. Dan apakah ritual itu?? Tak lain dan tak bukan adalah  jalan kaki ditengah malam buta sodara-sodara!( yaiyalah, walk kan artinya jalan, bukan ngesot) Hoho, saya yang kebetulan tidak mengantuk juga gag ada kerjaan dan yakin dengan fisik saya yang lumayan juga kalao diajak jalan yah ngikut ajah, awalnya mereka sangsi melihat fisik sayah (secara dibandingkan dengan semua Canadian, badan sayah ini termasuk kurus kering dan pendek!) dan mereka bilang  “are you sure Fahri? This is Canadian Walk , not Indonesian Walk” awalnya gag ngeh mereka bilang gitu , terus Jhon bilang “ yes, because The Indonesian walk very slow”. Tooooet,, darah nasionalisme saya terbakar dan langsung menjawab tegas “ SURE! YOU WANT TO CHALANGE ME?” mungkin mereka merasa tekanan dalam suara sayah dan mereka pun meminta maaf dan saya pun joint dalam iring-iringan aneh yang memang benar-benar akan terlihat sangat aneh jika kita berkeliaran di Indonesia,, hehhehehe,, secara Jhon dan Steph yang jangkung dan Anna yang terlalu berotot untuk seorang cewe dan sayah yang kecil kurus kerempeng nan hitam legam berjalan diantara kaki cepat mereka yang terbiasa berjalan diudara dingin pada pukul 12 malam!

Lalu apa hubungannya dengan Mitos Kaki Gajah?? Entah darimana asalnya, tapi ini sudah saya dengar berkali-kali dari temen-temen sayah yang kelewat noraknya kalo disuruh jalan untuk beli rokok atau sekedar beli gorengan kedepan kampus. Sedikit jauh aja mereka langsung bilang “engga mau akh,, ntar kakinya segede gajah!” atau kalo denger ada yang datang dari jarak jauh dan jalan kaki mereka akan bilang “ iiih, dasar kaki gajah! Engga banget lah yaw”. Mungkin temen-temen sayah memang norak sering menyebut jalan kaki menyebabkan kaki kita obesitas dan sayah sebenarnya gag maksud encourage anda untuk memperbanyak jalan kaki didalam tulisan ini, itu adalah hak masing-masing makhluk hidup (dan mati) untuk jalan (dan ngesot) kan? Tapi sejauh ini, selama program ini tentu saja, saya udah jalan kaki kemana-mana mungkin lebih banyak dari seumur hidup sayah sampai sekarang, dan sangat terbukti  tentu sajah ukuran sepatu saya gag berubah, Tetap 41 bukan pakai sepatu kuda atau sepatu gajah karena kebesaran akibat kebanyakan jalan!!

ataukah orang Indonesahlah  yang sebenarnya norak?? Who knows
seperti yang dibilang Trinity dalam bukunya “Naked Traveler” , “There’s no way to makes Indonesian walk faster!”
Read more
 

Catatan Mahasiswa Sableng (C M S) Copyright Protect Reserved and Edited by ♥chamink♥ © 2012